Oleh: Makmur Gazali  

BEBERAPA organisasi pemuda berkumpul. Bulan itu Oktober 1928. Kita tak tahu pasti apa yang ada di benak sekelompok pemuda ini. Yang pasti sejarah kemudian mencatat, bahwa pada bulan ini sebuah ikrar 'meledak' di tengah suasana rutin sebuah negeri yang tengah ditindas oleh penjajahan. Barangkali, saat itu tak ada yang istimewa di sana.

Barangkali bahwa pada saat itu kebanyakan dari rakyat kita tak mengetahui bahwa di ujung sana ada sekelompok pemuda dengan "gerumuh" bersepakat "berbangsa, berbahasa dan bertanah air satu". Mungkin pada saat itu, hampir kebanyakan dari masyarakat dan pemerintah kolonial saat itu hanya mengganggap apa yang dilakukan oleh "orang-orang muda yang lagi getolnya berorganisasi itu", sebagai kekenesan yang tak mengganggu.

Tapi sekelompok pemuda itu tetap "bersumpah". Tanpa memasang iklan dan bantuan dana dari manapun. Tanpa diawali oleh "kirab" yang mentereng dan pawai panjang bersusun dalam sebuah kebulatan tekad.

Oktober 1928 itu adalah kesederhanaan yang tulus. Sebuah "mimpi" yang terbit dari kesadaran panjang dari sebuah negeri yang terjajah. Tak ada yang muluk -muluk di sana. Tak ada pretensi mewah untuk mengambil peran politik "kaum tua" yang saat itu asyik-masyuk dengan budaya -meminjam istilah Rendra- 'klangenan'-nya. Budaya kaum feodal "baru" yang nyaman tak bergolak.

Barangkali, yang terbersit dari batin kau muda di tahun 1928 ini hanya keinginan untuk "berbagi" kesadaran. Keinginnan untuk menjawab sebuah kegelisahan yang muncul dari semangat zaman pada saat itu. Memang, saat itu, gagasan nasionalisme mulai menemukan perciknya dikalangan intelektual terpelajar. Namun sebagaimana biasanya, kaum mudalah yang dengan sigap mengambil dan mendaur ulangnya dalan kerangka kontekstual saat itu.

Memang Oktober 1928, jangan kita bayangkan sebagai sebuah "upacara" yang dikonstruk dan didanai dengan mewah. "Sumpah" yang lahir dari tekad ini demikian bersahaja. Tak ada umbul-umbul berkibar di sana. Tak ada sepasukan panitia yang menghadirkan berbagai macam protokoler untuk kenyamanan para tamu dan undangan. Para pemuda yang berkumpul saat itupun tak bisa membanyangkan, bahwa enam belas tahun kemudian di 1945, Indonesia yang mereka bayangkan dapat terwujud.

Dan sejarah akhirnya mencatat. "Sumpah" itu terus saja bergema. Menjadi gairah yang tak kunjung reda. Meledak dalam "mimpi" setiap anak bangsa yang mulai memekarkan wawasannya ke tempat-tempat jauh. Dalam kesederhanan dan mungkin sedikit "kekonyolan" ala pemuda, "sumpah" itu menjadi ruang "harapan" dari sebuah negeri. Yang terus bergerak, walau terkadang pahit dan terkhianati. para pemuda menjadi sebuah ikon untuk harapan perubahan itu.(*)